Renungan Kidung Agung 1 : 1 – 8
Oleh: Pdt. Aprilia Regar, STh
Cinta sejati tidak memandang perbedaan sebagai penghalang, apalagi kalau perbedaan itu dipakai untuk membeda-bedakan sesama berdasarkan SARA. Hal ini sedikit tergambarkan dalam puisi pertama dari Kidung Agung. Bagian ini terbagi menjadi ayat 2-4a suara sang mempelai perempuan, ayat 4b suara para sahabat, ayat 5-7, kembali sang perempuan, dan ayat 8 para sahabat. Fungsi suara para sahabat ini menjadi pemberi semangat untuk pasangan itu tetap setia satu sama lain, walaupun dihadang tantangan. Alkitab membicarakan semua aspek hidup manusia.
Tidak ada yang dianggap tabu, tidak penting, dan tidak perlu diperhatikan. Kidung Agung membicarakan hubungan cinta dua orang kekasih dan tempat wajar seksualitas dalam hubungan cinta itu. Kitab ini menolak dua macam ekstrem yang salah: pengumbaran nafsu yang liar, juga asketisisme (pengekangan diri) .
Meskipun status sosial berbeda, sang mempelai perempuan mungkin seorang dari kelas rakyat pekerja, sebaliknya sang kekasih adalah raja , hal ini tidak menghalangi hasrat cinta yang tulus bahkan bisa dikatakan sedikit posesif ( cemburu), yaitu keinginan mencium serta menikmati keharuman badan sang kekasih, bahkan ingin segera memuncak pada paduan kasih di mahligai pernikahan.
Hasrat yang begitu besar ini belum tercapai. Ada penghalang yang harus diterobos. Bayangkan gunjingan dari kalangan istana mengenai sang mempelai perempuan karena kerendahan status sosialnya. Dengan percaya diri, sang perempuan mengatakan dirinya cantik. Hitam kulitnya disebabkan oleh sinar matahari yang membakarnya justru menarik sang raja. Entah karena hitam manis, atau karena karakter pekerja kerasnya.
Kerinduan sang perempuan diungkapkan lewat keinginannya mengenal lebih baik lagi sang kekasih, bukan dari luar saja, seperti pengembara di antara teman-teman sang kekasih. Keberanian untuk menyatakan kerinduan ini akan dibalas oleh sang kekasih pada perikop selanjutnya. Di ayat delapan sang mempelai wanita seolah mendapatkan penguatan untuk tetap mencari.
Cinta sejati tidak surut oleh tantangan, melainkan setia dan fokus pada panggilan mulia Allah pada pasangan yang diberkati-Nya.
Pasangan yang sedang menjalin cinta ini saling mengekspresikan kerinduan, keraguan diri, pujian, dan harapan mereka. Mempelai perempuan tidak merasa tabu dengan kerinduannya akan kecupan mempelai laki-laki. Kecupan ini dikaitkan dengan pengertian cinta yang telah dinikmatinya dari mempelai laki-laki.
Kerinduan itu bukan timbul dari dirinya sendiri melainkan merupakan suatu respons terhadap cinta mempelai laki-laki kepadanya. Ia menghargai cinta itu melebihi kenikmatan lain (anggur). Keduanya saling sadar akan daya tarik cinta, fisik, dan dorongan untuk saling menyukakan. Cinta antarlawan jenis dalam hubungan yang benar adalah karunia Ilahi. Cinta itu tidak dipaksakan, tumbuh dengan sehat, saling memberi dan menerima, serta saling memperkaya yang berpuncak pada persatuan intim. Dalam karunia cinta yang murni itu pengenalan diri secara jujur menjadi pengalaman indah.
Pernikahan bukan ada untuk pernikahan itu sendiri melainkan menjadi sarana untuk memahami keluasan dan kedalaman cinta kasih Kristus kepada jemaat. Kasih kita kepada Kristus bagaikan melodi utama dalam lagu yang disertai dengan melodi-melodi yang lain yang membentuk keanekaragaman nada-nada kehidupan. Tanpa kasih Kristus yang menjadi pusatnya, pernikahan akan menjadi berhala.
(*)