Oleh : Denny Leyden Waljufrie
Namanya Lindswell Kwok, peraih medali emas kedua bagi Indonesia di Asian Games Jakarta 2018.
Pada saat penerimaan medali dengan mata berkaca-kaca haru membungkus bahunya dengan Sang Merah Putih, diiringi senandung Indonesia Raya. Sekilas tak ada yang berbeda dengan euforia kemenangan-kemenangan putra putri bangsa lainnya. Tapi memperhatikan sosok Lindsay, dengan mata sipitnya, kulit putihnya plus nama marganya sepertinya sedikit menggelitik rusuk ini untuk menuliskan sesuatu tentangnya. Syukurlah, tak ada yang meributkan hal-hal yang sebenarnya sepele tapi bisa jadi bencana ini. Hal-hal yang sering diributkan di negara Pancasila akhir-akhir ini.
Apa itu? Masalah suku, agama, ras dan golongan.
Sepertinya di Asian Games ini tak ada yang ribut-ribut protes ketika Lindsay Kwok menang dan dapat medali. Tidak ada yang demo sana sini berjilid jilid untuk mengganti #Kwok dengan atlet lain karena latar belakangnya itu. Semua haru dalam suasana kemenangan. Semua bertepuk tangan sambil meneriakkan “Indonesia” dengan lantang. Ada yang menengadahkan tangan, ada yang melipat tangan tanda syukur. Semuanya menjadi SATU!
Hmm, kenapa bisa jadi satu seperti itu?.
Asian Games atau sportivitas olahraga sepertinya menjadi perekat yang sangat kuat dalam kebhinekaan kita. Di Brazil permainan sepak bola dijadikan ‘agama’ baru yang mempersatukan. Sekat-sekat dan rasa berbeda itu sepertinya hilang ketika ada dalam ranah ini. Sepertinya dibutuhkan banyak jenis ‘asian games’ untuk mempersatukan kita. Karena pemikiran-pemikiran bangsa ini sekarang sepertinya dipenuhi dengan problem politik yang persahabatannya penuh kepentingan sesaat. Sekarang lawan nanti kawan, sekarang sahabat besok seteru. Apalagi kalau ia menunggangi agama. Parah…
Berapa kasus sepertinya merobek-robek rasa pluralism kita. Sebut saja yang ramai sekarang, Meiliana, seorang ibu rumah tangga di Medan. Divonis delapan belas bulan penjara karena mengeluhkan pengeras suara rumah ibadah yang semakin keras. Perkataanya digoreng ke sana kemari sehingga menjadi isu sara yang menyesatkan. Sementara pelaku pembakaran rumah ibadah karena terprovokasi Meiliana divonis satu sampai dua bulan penjara. Hadeehhh… Ironis! Sungguh menyedihkan! Sungguh tidak berlebihanlah sebuah ungkapan Karl Marx yang sering disalahartikan yaitu “agama adalah candu”, sebenarnya mengkritik superioritas agama yang malah sering dijadikan tameng untuk membunuh kemanusiaan.
Saya kira kita harus berhati-hati main tuduh tentang problem kebhinekaan atau secara khusus agama. Persoalan di sini sebenarnya bukan masalah agama tertentu. Tetapi persoalannya adalah cara atau perlakuan kita terhadap urusan ini. Persoalan bagaimana kita menjadi mayoritas ataupun sebaliknya minoritas juga. Kita sering kali menunjuk ke luar daerah, kejadian di mana kita yang minor di sana terintimidasi, tapi bagaimana kita yang menjadi mayoritas di sini. Benarkah kita sudah bertindak adil? Sepertinya jauh panggang dari api.
Tak jauh beda. Berhadapan dengan masalah-masalah perbedaan keyakinan, kita menjadi garang bak singa marah. Coba lihat diskusi-diskusi di media sosial yang berujung debat bahkan perpecahan. Kasus-kasus agama atau suku ditanggapi hampir dengan tanpa pikiran bersih, logika sehat. Pokoknya saya benar! Yang saya yakini pasti lebih baik! Kamu selalu salah! Tanah tercinta kita Sulawesi Utara ini pun kalau tidak dikawal dengan rasa kebhinneka tunggal ikaan yang kokoh akan terancam. Mengingat majemuknya masyarakat kita.
Persoalan seperti Meiliana pun bukan tak mungkin terjadi di sini dengan situasi yang terbalik. Kebiasaan-kebiasaan pesta dengan musik keras sampai larut malam contohnya; sering menjadi sumber konflik. Baru beberapa pekan lalu seorang pria tega membunuh tetangganya karena persoalan ini. Syukurlah tak menyentuh rasa agama atau kesukuan, sehingga tak melebar. Oh, kita tak ingin persoalan perbedaan seperti ini merobek kebersamaan kita. Memang ketika melibatkan emosi biasanya kita tak perduli apapun. Tapi dalam rangka kebersamaan sebagai bangsa yang merdeka, kita harus belajar dan terus belajar menerima perbedaan-perbedaan sebagai harmoni kebangsaan.
Pada akhirnya kita harus belajar menghadirkan ‘asian games’ dalam kebhinekaan tunggal ika kita. Dalam kasus Meiliana, kita harus belajar dari seorang tokoh pluralis Yenny Wahid yang berani mentwit: “saya bersama Meiliana” meskipun dia tahu dia bakalan berhadapan dengan umatnya sendiri. Dalam perbedaan di negara Pancasila, kita harus berani menerima kenyataan bahwa kita berbeda tanpa harus memusuhi. Mayoritas berarti mengayomi bukan mudah disulut. Sedangkan minoritas pula belajar menghargai.
Seorang Lindswell Kwok telah menunjukkan seorang minoritas yang berprestasi sehingga ia pun dihargai. Di tanah Sulawesi Utara ini pun kita belajar dari hal-hal yang sederhana untuk menjaga eratnya kebangsaan kita. Ajarkan dan wariskanlah! Kita Salut jika SULUT tak mudah disulut!.