Oleh : Subagio Manggopa, Penulis Adalah Orang Bolaang
SULUTIMES, Bolmong – Pemekaran wilayah dipahami sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pun, dari aspek lain lebih mendekatkan pelayanan pemerintahan serta dapat mempercepat akselerasi pembangunan daerah. Di Bolaang Mongondow Raya (BMR) sendiri, pembentukan Provinsi BMR telah menjadi “buah bibir” sejak PBMR masuk daftar calon Daerah Otonom Baru (DOB) bersama daerah-daerah lainnya.
Hal ini yang kemudian menjadi perhatian khalayak masyarakat BMR di beberapa tahun terakhir ini – belum ada kepastian perihal pencabutan moratorium pembentukan DOB oleh Pemerintah Pusat. Alasan klasik: Keuangan Negara serta pendapatan asli daerah (PAD) yang diperoleh DOB masih tergolong rendah dan belum mampu membiayai serta menopang kebutuhan DOB menjadi alasan utama pemerintah meniadakan dulu pembentukan DOB.
Pada sisi lain, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan anggaran yang fantastis 500 triliun tengah diupayakan untuk segera diselesaikan. Konon katanya, 20 persen dari dana itu dibiayai oleh negara menggunakan dana APBN. Alih-alih ingin mengubah paradigma pembangunan menjadi Indonesia-sentris, namun justru dinilai sebagian kalangan kurang merespon apa yang menjadi kebutuhan dan aspirasi setiap daerah calon DOB.
Tak sampai disitu, pro dan kontra pembentukan DOB di Papua dinilai sangat bertolak belakang dengan kebijakan nasional: pemberlakuan moratorium pembentukan DOB. Terlepas dari itu, saya tidak sedang turut serta merespon berlebihan kebijakan pemerintah itu. Saya justru penasaran bagaimana upaya mayoritas masyarakat – tak terkecuali elit-elit politik BMR – konsistensi mereka dalam memperjuangkan PBMR di tengah ketidakpastian kapan dicabutnya kebijakan moratorium pembentukan DOB.
Di tengah kasat-kusut ketidakpastian tersebut, terus beredar pula wacana PBMR menjelang Pemilu 2024. Memang, ketika menjelang hajat politik, entah itu pemilu atau pilkada wacana PBMR kerap muncul menjadi topik yang beredar masif di kalangan masyarakat. Ada sekadar jadi guyonan saja, namun tak sedikit pula yang menjadikan wacana PBMR sebagai referensi untuk menentukan pilihan.
Menariknya, sikut-sikutan urusan calon presiden 2024, terkhusus di BMR ramai pula soal PBMR. Bahkan, nasib PBMR seolah-olah ditentukan oleh pilihan masyarakat BMR: “Siapa Presiden-nya nanti?” begitu kira-kira topik yang sering beredar luas. Lantas, apakah benar kontestasi Pemilu bisa mengintervensi kebijakan soal pencabutan moratorium pembentukan DOB?
Jika mencermati kebijakan pemberlakuan moratorium DOB, sebenarnya kebijakan ini sudah berlangsung sejak 2006 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun ketika itu, pemberhentian sementara pembentukan DOB tak sepenuhnya berjalan. Dan menariknya, kendati ada pemberlakuan moratorium oleh Pemerintah, DPR justru mendorong pemekaran DOB. Alhasil, sepanjang tahun 2012 Pemerintah dan DPR membentuk 12 DOB.
Di era Presiden Jokowi, kebijakan moratorium pembentukan DOB kembali diberlakukan. Selain hal teknis, yakni: untuk memperbaiki proses pemekaran daerah itu sendiri, pun pendapatan asli daerah yang menjadi alasan mendasarnya. Di mana, PAD yang diperoleh DOB masih sangat rendah dan belum mampu membiayai serta menopang kebutuhan DOB. Akibatnya, pemekaran daerah justru memberatkan keuangan pemerintah pusat.
Kendati begitu, bukan berarti harapan untuk mewujudkan PBMR menjadi sirna. Belum adanya peraturan perundang-perundangan terkait moratorium pembentukan DOB serta UU tentang Pemerintahan Daerah yang mengijinkan pemekaran daerah, menjadi landasan memuluskan langkah BMR menjadi DOB. Apalagi, PBMR kita ketahui bersama sudah masuk 8 wilayah provinsi yang menjadi prioritas pemerintah untuk dimekarkan.
Terkait hal ini, proses-proses politik harus dilakukan agar dapat mengubah kebijakan pemerintah terkait moratorium pemekaran. Dan salah satunya, menurut saya, Pemilu 2024 menjadi momentum yang sangat tepat. Pemilu 2024 harus kita jadikan momentum meneguhkan persatuan. Tak hanya masyarakat, melainkan juga elit-elit politik di BMR harus duduk bersama untuk menyatukan persepsi dan tujuan mewujudkan PBMR.
Pembentukan DOB memang menjadi kewenangan pemerintah, tetapi DPR juga memiliki peran penting untuk bisa meloloskan itu. Dan ini yang terjadi di era pemerintahan SBY. Lain lagi di era presiden Jokowi, kendati legislatif terbelah menjadi dua kutub pandangan terkait pembentukan DOB, namun dominasi kekuatan di legislatif akan sangat mempengaruhi juga keputusan pemerintah soal moratorium pemekaran.
Sehingga, meloloskan keterwakilan figur BMR di DPR RI juga menjadi wajib agar dapat mewadahi aspirasi masyarakat mempercepat proses pembentukan PBMR – didukung peran elit-elit di BMR melalui jejaring parpolnya masing-masing. Jika ini konsisten dilakukan dan dimanfaatkan masyarakat serta elit-elit di BMR di Pemilu nanti, maka akan sangat memungkinkan mempengaruhi kebijakan pemerintah soal moratorium pemekaran PBMR.
Akhirnya, Pemilu dan PBMR harus tetap berjalan sebagaimana mestinya, tak perlu lagi menjadi perdebatan. Yang perlu kita lakukan adalah upaya nyata, yang lebih konstruktif daripada energi kita habiskan berdebat di ruang-ruang sosial yang sifatnya dikotomi dan tidak ada manfaatnya sama sekali. (ADRI)